Popular Post

Kasus Kelima

By : Queen Falin


Salah satu contoh kasus illegal content  dialami oleh Ayu Ting Ting dan Ruben Onsu. Juni lalu ada laporan bahwa ada penjualan bayi sangat murah. Di mana putra putri yang dijual adalah anak dari artis, padahal mereka (artis) tersebut tidak pernah menjual anak mereka. Merasa dirugikan, mereka melapor ke Polda Metro Jaya.
Tersangka kasus penjualan bayi di akun Instagram dengan nama @jualbayimurahsangat dan akun @jualbayimurahsegera menggunakan handphone tipe Nexian MI438. Dalam akun tersebut, pelaku mencantumkan tulisan  “dijual bayi murah langsung saja kepantiasuhan yang terdapat di jalan duri bulan batu ampar 3 no 64D tepatnya di sebelak TK Karunia. Bahkan pelaku mencantumkan harga  dari mulai 5 juta sampai 1 Miliar, langsung saja called me 087877668903 khusus daerah Jakarta Timur”. Hal ini semakin memudahkan pihak kepolisian untuk mencari lokasi pelaku dan kemudian berhasil melakukan penangkapan. Menariknya pelaku Cybercirme tersebut ternyata masih berusia 19 tahun.



Pasal yang di terima pelaku :
Dari tindakan kriminal tersebut pelaku penjual bayi Ayu Ting Ting dan  Ruben Onsu terkena pasal yang disangkakan pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) U RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 1 Miliar.

Kasus Keempat

By : Queen Falin
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya menangkap 6 orang warga negara asing (WNA) yang diduga melakukan tindak pidana pemalsuan dokumen dan penipuan. Mereka adalah AS (31) dan AK asal Rusia, MOS warga Libya, RC warga Italia, serta IS dan AN yang berasal dari Latvia.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Khrisna Murti mengungkapkan, sindikat kejahatan cyber ini bermula dari adanya laporan dari salah satu bank swasta terkait pemalsuan dokumen.
Setelah diusut, ternyata salah satu pelaku yaitu MOS memalsukan identitas diri berupa paspor, Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas), Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap), dan Surat Tanda Lapor Diri (STLD) palsu saat akan membuka rekening tabungan.
"MOS alias Ahmed Iunusov, dari Libya, kami tangkap Rabu 21 Oktober 2015 di salah satu bank. Pelaku ini tengah membuat rekening tabungan. Dari pelaku disita paspor palsu, ideintitas palsu, 10 rekening palsu," kata Khrisna dalam keterangan persnya di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (31/10/2015).
Dari pemeriksaan, diketahui MOS merupakan salah satu anggota jaringan penipuan cyber yang dikoordinir oleh AS yang warga Rusia. Tak berselang lama, polisi menangkap AS yang tengah asik berbelanja bersama pelaku lain yakni AK di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan.
Kemudian, AS dan AK diminta untuk menunjukkan tempat tinggal mereka. Polisi lalu mendapati sebuah kamar hotel yang disewa pelaku lainnya berinisial RC asal Italia di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Dari situ polisi mendapati laptop dan alat laminating serta bahan baku pembuat kartu identitas palsu.
"Modusnya memalsukan ideintitas, dibuat sendiri dan ada paspor palsu dan asli," ungkap Khrisna.
Tak berhenti sampai di situ, setelah dikembangkan polisi kembali menangkap 2 pelaku lainnya berinisial IS dan AN ditempat berbeda.
Dari tangan keenam pelaku, polisi mendapati puluhan paspor, Kitas, Kitap dan sejumlah dokumen palsu lainnya dengan nama berbeba-beda. Disita juga sejumlah telepon selular berbagai merek dan puluhan buku tabungan dari berbagai bank.


Modus Penipuan Cyber
Selain memalsukan dokumen, keenam pelaku juga diduga melakukan tindak pidana penipuan online. Modusnya dengan memunculkan permintaan data identitas di situs judi, porno, dan broadcast blackberry messenger. Selain itu, mereka juga mengelabui korbannya dengan menjanjikan menang undian yang disebar lewat media sosial.
"Dari data yang diberikan, pelaku punya celah untuk menembus rekening bank dan mengambil uang tanpa sepengetahuan korbannya," tutur Khrisna.
Setelah korbannya memasukkan data diri dan data perbankannya, di situlah sistem kejahatan online yang disebar pelaku bekerja. Pelaku mengantongi data dan punya celah untuk menembus rekening korban tanpa sepengetahuan si pemilik rekening.
"Jenis kejahatan ini sudah menjadi tren di sejumlah negara, tidak hanya di Indonesia, bahkan Amerika sekali pun bisa ditemui jenis kejahatan ini," tambah Khrisna.
Dijelaskan dia, ratusan orang telah menjadi korban kejahatan pelaku. Ia menduga para pelaku mampu meraup uang miliaran rupiah dari aksi kejahatan ini. "Korban sadar ketika memeriksa rekening. Jumlah saldo berkurang tanpa melakukan penarikan," sambung dia. 

Pasal Pelaku Penipuan

By : Queen Falin
sumber : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f0db1bf87ed3/pasal-untuk-menjerat-pelaku-penipuan-dalam-jual-beli-online

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan. Selama ini, tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), dengan rumusan pasal sebagai berikut:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Walaupun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, namun terkait dengan timbulnya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menyatakan:

Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE diancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sesuai pengaturan Pasal 45 ayat (2) UU ITE.

Jadi, dari rumusan-rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP tersebut dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur penipuan (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHP silakan simak artikel Penipuan SMS Berhadiah), sementara Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (penjelasan mengenai unsur-unsur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE silakan simak artikel Arti Berita Bohong dan Menyesatkan dalam UU ITE).

Walaupun begitu, kedua tindak pidana tersebut memiliki suatu kesamaan, yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Tapi, rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Pada akhirnya, dibutuhkan kejelian pihak penyidik kepolisian untuk menentukan kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Namun, pada praktiknya pihak kepolisian dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut.

Lepas dari itu, menurut praktisi hukum Iman Sjahputra, kasus penipuan yang menyebabkan kerugian konsumen dari transaksi elektronik jumlahnya banyak. Di sisi lain, Iman dalam artikel Iman Sjahputra: Konsumen Masih Dirugikan dalam Transaksi Elektronik juga mengatakan bahwa seringkali kasus penipuan dalam transaksi elektronik tidak dilaporkan ke pihak berwenang karena nilai transaksinya dianggap tidak terlalu besar. Menurut Iman, masih banyaknya penipuan dalam transaksi elektronik karena hingga saat ini belum dibentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan yang diamanatkan Pasal 10 UU ITE

Apa itu Cyberlaw?

By : Queen Falin

Hukum Siber/Cyber Law adalah istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi (Law of Information Techonology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan teknologi informasi berbasis virtual. Istilah hukum siber digunakan dalam tulisan ini dilandasi pemikiran bahwa cyber jika diidentikan dengan “dunia maya” akan cukup menghadapi persoalan ketika terkait dengan pembuktian dan penegakan hukumnya. Mengingat para penegak hukum akan menghadapi kesulitan jika harus membuktikan suatu persoalan yang diasumsikan sebagai “maya”, sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Di internet hukum itu adalah cyber law, hukum yang khusus berlaku di dunia cyber. Secara luas cyber law bukan hanya meliputi tindak kejahatan di internet, namun juga aturan yang melindungi para pelaku e-commerce, e-learning; pemegang hak cipta, rahasia dagang, paten, e-signature; dan masih banyak lagi.

Bentuk Kejahatan Komputer dan Siber
1.    Penipuan Komputer (computer fraudulent)
Pencurian uang atau harta benda dengan menggunakan sarana komputer/ siber dengan melawan hukum. Bentuk kejahatan ini dapat dilakukan dengan mudah dalam hitungan detik tanpa diketahui siapapun juga. Bainbdridge (1993) dalam bukunya Komputer dan Hukum membagi beberapa macam bentuk penipuan data dan penipuan program:

Ø   Memasukkan instruksi yang tidak sah, seperti contoh seorang memasukkan instruksi secara tidak sah sehingga menyebabkan sistem komputer melakukan transfer uang dari satu rekening ke rekening lain, tindakan ini dapat dilakukan oleh orang dalam atau dari luar bank yang berhasil memperoleh akses kepada sistem komputer tanpa izin.
Ø   Perubahan data input, yaitu data yang secara sah dimasukkan ke dalam komputer dengan sengaja diubah. Cara ini adalah suatu hal yang paling lazim digunakan karena mudah dilakukan dan sulit dilacak kecuali dengan pemeriksaan berkala.
Ø  Perusakan data, hal ini terjadi terutama pada data output, misalanya laporan dalam bentuk hasil cetak komputer dirobek, tidak dicetak atau hasilnya diubah.
Ø  Komputer sebagai pembantu kejahatan, misalnya seseorang dengan menggunakan komputer menelusuri rekening seseorang yang tidak aktif, kemudian melakukan penarikan dana dari rekening tersebut.
Ø  Akses tidak sah terhadap sistem komputer atau yang dikenal dengan hacking. Tindakan hacking ini berkaitan dengan ketentuan rahasia bank, karena seseorang memiliki akses yang tidak sah terhadap sistem komputer bank, sudah tentu mengetahui catatan tentang keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain yang haru dirahasiakan menurut kelaziman dunia perbankan.

2.  Penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.
3.  Hacking, adalah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa izin atau dengan malwan hukum sehingga dapat menebus sistem pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.
4.   Perbuatan pidana perusakan sistem komputer (baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulka kerusakan dan kerugian). Perbuatan pidana ini juga dapat berupa penambahan atau perubahan program, informasi, dan media.
5.   Pembajakan yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten.

Kasus Ketiga

By : Queen Falin
Tjandra Adi Gunawan, Manajer Quality Assurance PT KSM, mengaku sebagai dokter reproduksi di media sosial Facebook untuk menjerat anak-anak di bawah umur. Tercatat, enam anak menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh alumni sekolah kedokteran gigi sebuah universitas negeri di Jawa Timur itu.

Untuk menjerat korban, Tjandra memakai nama akun dokter palsu di Facebook dengan nama perempuan Lia Halim. "Yang tampak di Facebook, wanitanya cantik," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu, 16 April 2014.

Sebelum menjerat korban, kata Arief, Tjandra mempelajari profil enam anak-anak tersebut. "Dia lalu invite korban sebagai teman di Facebook dan mengajak korban chat melalui messenger," ujarnya.

Setelah itu, Arief menambahkan, Tjandra meminta para korban memfoto alat kelamin dan payudaranya dengan berbagai pose. "Lebih parah lagi, anak-anak ini diminta melakukan masturbasi dan onani," tuturnya.



Tjandra lalu mengirim foto-foto ke akun Facebook orang tua dan guru para korban. Tak hanya Facebook, Tjandra juga menyebarnya di Kaskus. "Dia lalu menggunakan identitas korban untuk mencari korban lainnya," ujar Arief.

Sedangkan tujuan Tjandra mengirim foto ke orang tua korban, menurut Arief, adalah sebagai bentuk pemerasan dan adu domba. "Orang tua dengan orang tua dan orang tua dengan guru. Lalu, orang tua menuduh gurunya yang menyebar foto-foto tersebut," katanya.

Kepolisian juga menduga Tjandra berafiliasi dengan jaringan pedofilia internasional. Sebab, di laptop tersangka ditemukan percakapan dengan sejumlah warga negara asing. "Tersangka menerima tawaran untuk saling tukar dan jual-beli gambar pornografi anak," ujarnya.

Adapun para korban terdiri atas empat siswi pelajar sekolah dasar dan masing-masing satu siswi dan siswa sekolah menengah. "Dampaknya atas kejadian ini, para korban merasa depresi, malu, dan tidak mau sekolah," tutur Arief. 



"Ada indikasi tersangka terlibat dalam jaringan paedofilia internasional, dengan ditemukannya komunikasi tersangka di laptopnya," kata Arief di Mabes Polri, Rabu (16/4/2014).

Dari komentar yang ada, Arief mengungkapkan, tersangka diduga mengakui foto itu sebagai foto anaknya. Tidak sedikit rekan tersangka yang juga mengajaknya untuk saling tukar koleksi foto porno anak-anak.

"Tersangka diduga menerima tawaran untuk saling tukar atau jual beli gambar pornografi anak," kata Arief.

Sebelumnya, pria yang berprofesi sebagai manajer quality assurance di PT KSM, Surabaya, itu ditangkap tim penyelidik di kantornya pada 24 Maret 2014 lalu. Ia diduga menyebarkan konten pornografi anak-anak ke media sosial.

Akibat perbuatannya, lulusan sekolah kedokteran gigi salah satu universitas negeri di Surabaya itu disangka dengan Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 27 Ayat (1) jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 6 miliar.

"Karena obyek korban melibatkan anak-anak, maka ditambah sepertiga dari maksimum ancaman pidana," tekannya

© Belajar Bersama